Ada Kisah Seorang ayah memenuhi janjinya untuk mengajak anaknya pergi
memancing. Dengan bersusah hati diantara schedulenya yang padat, si ayah
berusaha mengambil cuti. Dan akhirnya, berangkatlah ia dengan anaknya,
untuk pergi memancing. Seharian mereka memancing, tetapi tidak
mendapatkan seekor ikanpun. Dengan marah-marah, akhirnya sampai sore,
mereka pun pulang. Puluhan tahun berlalu, ternyata pengalaman ini
dicatat oleh mereka masing-masing dalam diary harian mereka.
Ketika dibaca ulang, diary si ayah bunyinya begini, “Kurang ajar. Hari yang sial! Saya sudah cuti seharian untuk memancing, ternyata tidak mendapatkan seekorpun. Sebel banget!” Sementara itu, diary anaknya pun dibuka, ternyata kalimatnya, “Terima kasih Tuhan. Hari yang luar biasa. Saya pergi memancing bersama ayah. Meskipun tidak mendapatkan seekor ikanpun, tetapi saya punya kesempatan ngobrol-ngobrol banyak dengan ayah. Sangat menyenangkan!”
Ketika dibaca ulang, diary si ayah bunyinya begini, “Kurang ajar. Hari yang sial! Saya sudah cuti seharian untuk memancing, ternyata tidak mendapatkan seekorpun. Sebel banget!” Sementara itu, diary anaknya pun dibuka, ternyata kalimatnya, “Terima kasih Tuhan. Hari yang luar biasa. Saya pergi memancing bersama ayah. Meskipun tidak mendapatkan seekor ikanpun, tetapi saya punya kesempatan ngobrol-ngobrol banyak dengan ayah. Sangat menyenangkan!”
Betapa berbedanya sudut pandang si ayah dengan si anaknya.
Bagi si ayah, yang terpenting adalah mendapatkan ikan-ikan, sementara
bagi si anak, justru pengalaman memancing bersama itulah yang
menyenangkan. Ada yang menghargai ‘milestones’
sementara lainnya, lebih menghargai ‘moments’.
Suatu Kisah kita ambil dari Anthony Dio Martin..
"Kejadian ini sebenarnya mengingatkan saya dengan pengalaman bertemu dengan seorang General Manager sebuah perusahaan ritel, dimana ia sangat sukses dan berhasil tetapi dalam konselingnya dengan saya, mukanya tampak letih. Singkatnya, ia mengatakan, “Aku capek, sangat keletihan. Hidupku rasanya bergerak dari satu target ke target lainnya”. Tidaklah mengherankan bagi saya kalau si GM ini keletihan hidupnya. Yang muncul adalah perasaan kasihan saya karena hidupnya hanyalah kumpulan dari gol satu ke gol lainnya. Bahkan, dengan keluarganya pun ia hampir tidak mempunyai waktu. Bahkan, untuk jalan-jalan dengan keluarganya saja, ia harus menjadwalkan, seakan-akan menset target apa yang harus dicapai dalam piknik keluarganya, dll. Sungguh meletihkan sekali melihat hidupnya!"
"Kejadian ini sebenarnya mengingatkan saya dengan pengalaman bertemu dengan seorang General Manager sebuah perusahaan ritel, dimana ia sangat sukses dan berhasil tetapi dalam konselingnya dengan saya, mukanya tampak letih. Singkatnya, ia mengatakan, “Aku capek, sangat keletihan. Hidupku rasanya bergerak dari satu target ke target lainnya”. Tidaklah mengherankan bagi saya kalau si GM ini keletihan hidupnya. Yang muncul adalah perasaan kasihan saya karena hidupnya hanyalah kumpulan dari gol satu ke gol lainnya. Bahkan, dengan keluarganya pun ia hampir tidak mempunyai waktu. Bahkan, untuk jalan-jalan dengan keluarganya saja, ia harus menjadwalkan, seakan-akan menset target apa yang harus dicapai dalam piknik keluarganya, dll. Sungguh meletihkan sekali melihat hidupnya!"
Pelari Marathon atau Pendaki Gunung?
Kelompok Pendaki |
Pelari Marathon |
Coba kita bandingkan gambaran dua jenis orang di dalam menikmati hidupnya. Yang pertama, saya umpamakan seperti seorang pelari marathon.
Seorang Pelari Marathon sangat menikmati milestonenya, saat mengikuti merathon, dia berlari dengan serius. Terfokus pada satu titik ke titik yang lain, hingga selesai . Bahkan, penonton yang di tepi jalanpun dicuekin. Dia hanya terfokus untuk berlari dan akhirnya bisa sampai ke garis finish (ngomong-ngomong, ini mungkin tidak mewakili semua pelari marathon karena toh ada rekan kita yang bisa sangat menikmatinya). Singkat cerita, inilah tipe yang di anggap mewakili orang yang hidupnya hanya dari satu ‘milestones’ (tahapan) ke ‘milestone’ yang lainnya.
Bandingkanlah gaya pelari marathon ini dengan gaya seorang pendaki
gunung. kita diingatkan kepada kembali ke Pelari Marathon dan ini sangatlah berbeda. Dalam mendaki gunung, kita memang punya tujuan yang harus
dicapai, yakni puncaknya. Tetapi, sepanjang perjalanan, kita bisa
bernyanyi-nyanyi, saling bercerita bahkan sesekali berhenti sejenak jika
ada sesuatu yang menarik untuk dinikmati. Sungguh menyenangkan
berkesempatan menikmati satu demi satu tempat yang kita lalui. Dan
inilah metafora yang kita anggap mewakili orang yang hidupnya bisa
bergerak dari ‘moment’ ke ‘moment’.
Nah, Bagaimana saya dan Anda untuk
merefleksikan bagaimanakah kecenderungan sikap kita dalam menghadapi
hidup ini, dalam menyikapi pekerjaan kita, dalam menyikapi proses
perkembangan anak kita?
Terlalu banyak karyawan, pimpinan maupun orang tua yang menyikapi pekerjaan dan keluarganya seperti ‘milestones’.
Memang sih, pada akhirnya banyak yang bisa mereka raih, tetapi sekaligus, mereka juga banyak kehilangan sisi menyenangkan (fun) dalam hidup ini. Bayangkanlah seorang manager yang stres dan mulai kebosanan karena hidupnya hanya dari satu KPI (Key Performance Indicator) ke KPI lain, satu scorecard ke scorecard yang lain.
Ataupun, bayangkan seorang tua yang melihat anaknya seperti sesuatu target yang bergerak. Akan sangat meletihkan.
Terlalu banyak karyawan, pimpinan maupun orang tua yang menyikapi pekerjaan dan keluarganya seperti ‘milestones’.
Memang sih, pada akhirnya banyak yang bisa mereka raih, tetapi sekaligus, mereka juga banyak kehilangan sisi menyenangkan (fun) dalam hidup ini. Bayangkanlah seorang manager yang stres dan mulai kebosanan karena hidupnya hanya dari satu KPI (Key Performance Indicator) ke KPI lain, satu scorecard ke scorecard yang lain.
Ataupun, bayangkan seorang tua yang melihat anaknya seperti sesuatu target yang bergerak. Akan sangat meletihkan.
Sebaliknya, kita bisa tetap sambil menikmati ‘moment’
sambil berusaha menggerakkan diri kita mencapai yang lebih baik. Kita
bisa mencapai ‘gunung impian’ kita tanpa kehilangan kesempatan untuk
berhenti, menikmati indahnya pemandangan dan bercanda ria.
Jadi, mulai sekarang perlakukan hidup kita sebagai ‘moment’ bukan sebagai ‘milestone’ sehingga pada akhir ajal menjelang kita, akan ada banyak hal moment indah yang bisa dikenang!
Jadi, mulai sekarang perlakukan hidup kita sebagai ‘moment’ bukan sebagai ‘milestone’ sehingga pada akhir ajal menjelang kita, akan ada banyak hal moment indah yang bisa dikenang!
Big Thanks for Anthony Dio Martin